
TEGASNEWS.COM – Makassar. Waktu berjalan dan bergerak cepat. Temu dan tawa mengisahkan cerita tentang gerakan membaca. Membawa literasi di antara kebisingan kata dan tanda baca.
Menitipkan sedikit lebih baik dari sebelumnya mengenai desa di ambang pusara.
Membuka kompas waktu yang lama tertimbun ketakpeduliaan. Mencari jalan keluar dari kotak-kotak yang memenjarakan bahwa sekolah itu tidak penting.
Bulan Mei 2025 sebagai simbol keberadaan kami. Sedangkan bulan Juni 2025 adalah simbol kepergian dengan cara paling sederhana, yaitu pamit untuk rehat.
Desa telah memberi banyak warna untuk melihat ragam rupa. Menyasar setiap fenomena dari nemenologi social humanity. Pertemuan demi pemaknaan mengajak untuk melakukan program Selasa ruang.
Mengkampanyekan tentang gerakan literasi untuk revolusi melalui lapak baca gratis tergelar setiap sepekan.
Meski begitu, kami bergeser dari Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba dengan beberapa pertimbangan yang telah diriset.
Rasanya sangat berat memberi keputusan pamit. Program Malam Bercerita sebagai saksi keberlanjutan untuk kami dikatakan masih hidup dikemudian hari. Menitipkan program duduk demokrasi sebagai pesan mewarnai desa.
Jika dikemudian hari akan kembali ke desa, berarti telah menemukan makna baru yang sifatnya sama dalam prinsip dasar, yaitu setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru, ujar Sakkir sebagai sopir Rumah Buku yang sedang mencari penumpang.
Kami juga percaya bahwa argumentasi absurd telah banyak berkorban untuk gerakan literasi bertahan di desa. Tapi, sekarang kami melepaskan semua itu dan membiarkan argumentasi tersebut memainkan perannya.
Berharap, semoga keberuntungan itu tidak pernah menciptakan pengetahuan tentang kecewa. Pun, kami bergeser bukan karena menjadi intelektual baperan. Melainkan kami bergeser karena ingin menambah wawasan baru agar tidak terkotak-kotak.
Kini telah tiba saatnya kami melangkah untuk menggapai mimpi-mimpi itu, seperti pada program kami di Gelar Zine, Book Merchs, Seremoni Indonesia Ambil Langkah, dan Rumah Buku Publisher.
Perlu kami tegaskan kembali bahwa kami hanya bergeser dari Desa Bontonyeleng yang tak tahu kapan akan kembali.
Kegiatan offline yang sifatnya bisa teman-teman sentuh, raba, lihat, dan mainkan tentu tidak lagi terjadi di desa. Tapi, program online kami di Rumah Buku masih tetap sama dan kami upayakan untuk bertahan memberi keberartian.
Sampai jumpa dan mari kita rayakan pesta kecil-kecilan itu demi keabadian. Tutup Sakkir penuh perhatian untuk mengencangkan sabuk pengaman agar tidak jatuh dan terluka.***