
Opini
Oleh : Iswadi Amiruddin, S.Sos, M.AP
Dosen Unismuh Makassar/Pemuda Kolaka
TEGASNEWS.COM – MAKASSAR. Ketika perhatian publik sering tertuju pada keindahan alam Raja Ampat yang terancam, ada isu tak kalah mendesak dan jauh lebih dekat dengan keseharian eksploitasi pertambangan di daerah sendiri.
Di sudut wilayah ini, di mana tempat hidup dan mencari nafkah, aktivitas tambang terus berjalan, meninggalkan jejak yang patut dipertanyakan.
Panorama alam Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Kolaka dikenal kaya akan keindahan pesisir dan daratan, kini dihadapkan pada realitas yang tak terhindarkan.
Masifnya eksploitasi sumber daya mineral. Sejak awal milenium, deru alat berat dan aktivitas pertambangan telah menjadi pemandangan umum, terutama di wilayah seperti Wolo, Pomalaa dan tentu saja yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Kolaka.
Eksploitasi ini didominasi oleh nikel, komoditas vital dalam industri baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik, yang menjanjikan geliat ekonomi namun juga membawa serta bayang-bayang dampak lingkungan dan sosial yang kompleks.
Menyoroti dampak pertambangan yang terjadi di tanah Mekongga Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Kita bicara tentang bukit-bukit yang kini terpangkas, sungai-sungai yang mulai keruh, dan udara yang perlahan berubah.
Ini bukan lagi soal potensi kekayaan alam yang terpendam, melainkan kenyataan di depan mata tentang bagaimana kekayaan itu diekstrak.
Janji-janji kesejahteraan dan pembangunan seringkali menjadi narasi utama yang mengiringi izin tambang. Namun, bagi banyak komunitas lokal, janji itu terasa jauh berbeda dengan realitas yang mereka hadapi.
Boom Nikel dan Lonjakan Ekonomi Semu
Selama beberapa dekade terakhir, Sulawesi Tenggara khususnya Kabupaten Kolaka telah menjadi salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia.
Cadangan nikel yang melimpah menarik minat investor, baik lokal maupun asing, untuk menanamkan modalnya di sektor pertambangan. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi.
Ribuan hektar lahan, mulai dari hutan lindung hingga area pesisir, telah dialihfungsikan untuk kegiatan penambangan.
Pemerintah daerah seringkali menggembar-gemborkan potensi ekonomi yang dibawa oleh sektor ini. Penerimaan daerah dari royalti dan pajak pertambangan memang terlihat meningkat.
Infrastruktur jalan di beberapa daerah konsesi tambang, meskipun seringkali hanya dinikmati oleh kendaraan operasional perusahaan, juga mengalami perbaikan.
Janji-janji pembukaan lapangan kerja lokal, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pembangunan daerah seringkali menjadi legitimasi utama bagi ekspansi pertambangan.
Namun, di balik angka-angka ekonomi yang menggiurkan, tersimpan kisah-kisah tentang ketimpangan dan kerusakan yang tak terlihat.
Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Realitas di lapangan seringkali jauh dari citra positif yang digambarkan. Laporan dari berbagai organisasi lingkungan dan pengamatan langsung menunjukkan bahwa eksploitasi tambang nikel telah menyebabkan degradasi lingkungan yang serius.
Deforestasi menjadi konsekuensi langsung, dengan hutan-hutan primer yang dulunya rimbun kini gundul dan digantikan oleh lahan terbuka atau galian tambang.
Hal ini tidak hanya menghilangkan habitat alami flora dan fauna endemik, tetapi juga mengurangi fungsi ekologis hutan sebagai penyerap karbon dan penahan erosi.
Pencemaran air menjadi ancaman berikutnya. Lumpur dan sedimen yang terbawa dari lokasi penambangan mencemari sungai-sungai hingga bermuara ke laut.
Warna air yang keruh, endapan lumpur di dasar sungai, dan kematian biota air menjadi indikator nyata dari kerusakan ini. Nelayan yang bergantung pada sumber daya perairan melaporkan penurunan drastis tangkapan ikan dan udang, yang berdampak langsung pada mata pencarian mereka.
Laut yang dulunya jernih di beberapa teluk kini keruh, mengancam ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi rumah bagi berbagai spesies laut.
Tidak hanya itu, aktivitas pertambangan juga menimbulkan dampak pada kualitas udara. Debu dari hauling road yang tidak tertutup, serta emisi dari alat berat, berkontribusi pada polusi udara di sekitar area pertambangan dan permukiman warga.
Masalah kesehatan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dilaporkan meningkat di komunitas yang tinggal berdekatan dengan wilayah pertambangan.
Konflik Sosial dan Ketimpangan Pembangunan
Selain dampak lingkungan, eksploitasi tambang juga memicu berbagai konflik sosial. Perebutan lahan antara masyarakat adat atau petani dengan perusahaan seringkali terjadi, dengan masyarakat merasa hak-hak mereka diabaikan dalam proses perizinan.
Ganti rugi yang tidak adil atau bahkan tidak adanya ganti rugi menjadi pemicu utama protes dan ketegangan.
Janji-janji mengenai lapangan kerja lokal seringkali tidak terpenuhi sepenuhnya.
Meskipun ada penyerapan tenaga kerja, posisi strategis atau yang memerlukan keahlian khusus seringkali diisi oleh pekerja dari luar daerah, meninggalkan masyarakat lokal dengan pekerjaan-pekerjaan non-teknis atau harian yang bergaji rendah.
Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang baru di tengah masyarakat.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang dijanjikan seringkali tidak merata. Jalan-jalan yang dibangun untuk akses tambang tidak selalu memberikan manfaat bagi masyarakat luas, dan bahkan seringkali rusak akibat lalu lintas alat berat.
Fasilitas umum seperti listrik dan air bersih, yang diharapkan meningkat sekitar adanya investasi besar, justru seringkali tidak menunjukkan perbaikan signifikan di daerah-daerah terpencil yang berdekatan dengan konsesi tambang.
Mencari Titik Keseimbangan: Antara Ekologi dan Ekonomi
Melihat skala dampak yang ditimbulkan, pertanyaan krusial muncul: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat?
Pemerintah daerah dan pusat perlu meninjau kembali kebijakan pertambangan, memastikan bahwa proses perizinan transparan, melibatkan partisipasi aktif masyarakat, dan menerapkan standar lingkungan yang ketat.
Pengawasan yang lebih efektif terhadap perusahaan tambang sangat diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dan standar keselamatan kerja.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan juga menjadi kunci untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Selain itu, upaya rehabilitasi lahan pasca-tambang harus menjadi prioritas, bukan hanya retorika semata, untuk mengembalikan fungsi ekologis area yang rusak.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media juga memiliki peran penting dalam menyuarakan keprihatinan dan mendorong akuntabilitas.
Edukasi publik mengenai dampak pertambangan, serta pengorganisasian komunitas untuk menyuarakan hak-hak mereka, adalah langkah-langkah penting menuju pertambangan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sulawesi Tenggara khususnya Kabupaten Kolaka memang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah. Namun, tanpa pengelolaan yang bijaksana dan berkelanjutan, kekayaan ini berpotensi menjadi bumerang yang merusak lingkungan dan masa depan generasi mendatang.
Tantangan besar kini ada di hadapan kita: bagaimana mengubah potensi kekayaan alam ini menjadi kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan kelestarian alam dan hak-hak asasi manusia.
Sudah saatnya kita mengalihkan fokus. Bukan hanya mengagumi keindahan alam nun jauh di sana, tapi juga memberi perhatian serius pada apa yang terjadi di pekarangan kita sendiri.
Mengedukasi diri, bertanya lebih jauh, dan menuntut pertanggungjawaban adalah langkah awal untuk memastikan bahwa eksploitasi tambang di daerah kita dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, demi masa depan yang lebih baik bagi semua.